Di penghujung Ramadhan, ada ruang yang terasa menganga. Sebulan penuh kita berlari mengejar malam seribu bulan, menggenggam doa-doa yang belum sempat terucap, dan tiba-tiba… ia pergi. Seperti tamu yang diam-diam meninggalkan hadiah di depan pintu: “Aku titipkan 6 hari di Syawal. Sambunglah rindu ini.”
Kita sering mendengar hadis itu: puasa Ramadhan diikuti 6 hari Syawal, pahalanya setara setahun. Tapi angka-angka itu bukan matematika biasa. Ini adalah *bahasa rahasia* dari Yang Maha Pengatur Waktu. Enam hari Syawal adalah *jejak kaki-Nya* yang tertinggal di antara musim-musim ibadah. Seperti langit yang diciptakan-Nya dalam enam masa (QS. Qaf: 38), kita diberi enam hari untuk membangun “langit” baru dalam diri: langit kesabaran, ketulusan, dan kepercayaan bahwa takdir terbaik sedang dirajut.
Bayangkan Ramadhan sebagai sungai yang mengalir deras. Saat ia surut, Syawal adalah tanah subur di tepiannya. Enam hari ini kesempatan menanam benih yang akan tumbuh sepanjang tahun: benih imsak dari gosip yang merusak saudara, imsak dari rasa malas yang membajak shalat malam, imsak dari keputusasaan saat rezeki datang tertatih. Puasa Syawal adalah cara kita berkata: “Ya Allah, ajari aku menahan diri, bukan hanya dari lapar, tapi dari segala yang menjauhkanku dari-Mu.”
Ada yang bertanya: “Jika tak puasa Syawal, apakah pahala Ramadhan hanya 10 bulan?” Tidak. Ramadhan tetaplah bulan yang Allah muliakan dengan Lailatul Qadar. Tapi Syawal adalah *hadiah tambahan* untuk hamba-hamba yang rindu diperpanjang umur amalnya. Seperti petani yang sudah panen padi, lalu diberi kesempatan menanam jagung di lahan yang sama. Keduanya berbuah, meski musim berbeda.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang punya utang puasa Ramadhan? Prioritaskan yang wajib. Tapi jangan lupa: membayar hutang pun adalah bentuk rindu. Seperti anak yang pulang kampung membawa oleh-oleh untuk orang tua, qadha puasa adalah “oleh-oleh” untuk Ramadhan yang telah pergi. Baru setelahnya, enam hari Syawal menjadi pelengkap: “Aku datang lagi, Ya Ramadhan. Meski kau pergi, cintamu kusimpan di sini.”
Di kedalaman Syawal, ada rahasia lain: *ia adalah bulan takdir*. Di malam Lailatul Qadar, malaikat turun membawa catatan takdir. Di Syawal, kita diajak membaca catatan itu sambil berkata: “Ya Allah, aku terima takdir-Mu. Tapi izinkan aku meraihnya dengan cara-Mu: menahan diri dari yang haram, bersyukur pada yang halal, dan percaya bahwa Engkau sedang menulis kisah terbaik.”
Maka, puasalah di Syawal. Bukan karena takut pahala berkurang, tapi karena rindu ingin tetap “berbincang” dengan-Nya. Seperti kekasih yang menyimpan surat cinta di bawah bantal, enam hari ini adalah surat balasan kita untuk Allah: “Aku masih di sini. Aku masih mencoba.”
Di akhir nanti, saat usia kita ditanya: “Apa yang kau lakukan setelah Ramadhan?” Enam hari Syawal bisa jadi jawaban: “Aku tak mau putus. Aku sambung rindu itu, walau hanya dengan enam hari yang mungkin tak berarti bagi manusia, tapi kupersembahkan sebagai tanda bahwa cintaku pada-Mu tak berhenti di hari Lebaran.”
Syawal akan pergi. Tapi jika kau puasakan, ia akan meninggalkan jejak: sepercik keyakinan bahwa kau bisa bertahan. Bahwa imsak bukan hanya untuk perut, tapi untuk jiwa. Bahwa Allah tak pernah pergi—Dia hanya memberi enam hari untuk kau buktikan: “Aku masih mau melanjutkan perjalanan.”
Wallahu a’lam, tapi mungkin… dari langit ketujuh, para malaikat sedang berbisik: “Lihatlah, hamba-Ku itu. Dia puasa enam hari bukan karena takut neraka. Tapi karena rindu surga-Ku yang tak pernah berakhir.”