Biografi Mursyid KADISIYAH: 
BAPAK SUPRAPTO KADIS

Tahun 1929 adalah tahun duka cita bagi seluruh umat manusia. Setelah selesai Perang Dunia I pada tahun 1918, seluruh negara yang terlibat dalam perang tersebut ekonominya lumpuh. Hanya satu negara yang survived, yaitu Amerika Serikat. Padahal negara-negara tersebut adalah negara industri yang menguasai perdagangan dunia. Jerman, Austria-Hongaria, dan Kesultanan Utsmaniyah yang tergabung dalam Blok Sentral collapsed. Di pihak musuh, Blok Sekutu yang terdiri dari Inggris, Perancis, Rusia dan lain-lain juga collapsed. Akibatnya, perekonomian dunia pasca PD I sangat lesu.

Dalam situasi dunia yang sangat lesu itulah, di sebuah desa kecil di pelosok Kabupaten Cilacap di Pulau Jawa menyaksikan lahirnya seorang bayi laki-laki yang kelak besar jasanya bagi semesta. Pada Sabtu Legi, tanggal 13 April 1929, atau 4 Dzul’qaidah 1347 H, Suprapto lahir dari rahim seorang Ibu bernama Siti Jamilah. Bapaknya, yang bernama Kadis Darmosuharto, adalah orang terpandang di desa Karangtawang itu. Bapak Kadis Darmosuharto pernah menjadi Kepala Sekolah Volksschool atau Sekolah Rakyat (SR) dan kemudian meneruskan karirnya sebagai penilik sekolah. Beliau yang kerap dipanggil dengan sebutan Ndoro Guru Kadis adalah cucu dari Mangkuredja, yang masih keturunan Sunan Kalijaga (Raden Mas Said). Mangkuredja adalah seorang Kepala Desa Klapa Sawit, Kecamatan Bulus Pesantren. Kecamatan ini dikenal memiliki banyak pesantren sejak tahun 1800-an.

Ibu Suprapto, Siti Jamilah, adalah putri dari Haji Murgani, seorang saudagar berdarah Pulau Bawean, yang merupakan orang terkaya di Desa Karangtawang. Alhasil, Suprapto kecil tumbuh dengan berkecukupan. Buktinya, ia menjadi satu-satunya anak kecil yang memiliki sepeda roda tiga di Karangtawang saat itu. Suprapto tumbuh sebagai pelajar di Sekolah Rakyat dan SMP dengan nilai rapor yang gemilang. Sebagaimana remaja pada umumnya, ia bergabung dengan Tentara Pelajar. Kegiatan membela negara, menyimak informasi perkembangan politik dan pergerakan tentara Belanda, serta latihan menggunakan senjata menempa tekad seorang Suprapto untuk membela tanah air sesuai tuntutan zamannya.

Setelah berjuang melawan agresi Belanda setelah lulus SMP, Bapak melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Menengah di Yogyakarta dan kembali lulus dengan nilai terbaik. Sayang kuliahnya di Akademi Teknik Nasional tidak tuntas karena penugasan mengajar yang diterimanya. Prestasi dalam pendidikan membuktikan baktinya secara sungguh-sungguh kepada negeri ini. Bakti itu diteruskannya dengan kerja keras saat menjadi karyawan di PT. Krakatau Steel Cilegon. Menjadi seorang ahli di bidang load control, Bapak Suprapto memimpin banyak karyawan. Beliau juga dikenal dengan kecerdasannya mengatasi masalah-masalah di perusahaan. Di luar kemampuan teknis tersebut, beliau juga menonjol karena kejujurannya.

Dengan jabatan Kepala Dinas, Bapak Suprapto seharusnya memiliki harta yang mumpuni. Belum lagi kesempatan mendulang ‘pendapatan haram’ terbuka di era Orba saat pemberantasan korupsi belum terlalu digalakkan. Namun alih-alih memiliki mobil. Rumah pribadi saja beliau tak punya. Raga beliau bahkan belum pernah menunaikan ibadah haji. Sepanjang hidupnya sebagai karyawan PT. Krakatau Steel, beliau menempati rumah dinas di Jl. Warnasari nomor 23. Saat pensiun dari PT. Krakatau Steel, beliau tidak mendapatkan uang pensiun. Hal ini disebabkan karena beliau bergabung dengan perusahaan ini pada usia yang telah melewati ambang batas usia pegawai tetap. Untuk menafkahi keluarga, Bapak Suprapto bekerja sebagai konsultan di PT. Krakatau Steel. Selain itu, beliau mengajar bahasa asing di beberapa pabrik di sekitar Cilegon. Beliau memang menguasai Bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang dengan baik.Rumah di Jl. Warnasari itu di kemudian hari menerima kunjungan murid-muridnya di Tarikat Kadisiyyah yang datang dari penjuru Pulau Jawa, bahkan luar Jawa. Bapak Suprapto sangat aktif mengajarkan tasawuf dan melayani murid-muridnya dalam forum-forum kajian yang diselenggarakan di Bandung secara rutin.

Sosoknya sebagai seorang Mursyid sebuah tarekat bermula dari pencarian panjang tentang Diri Sejati. Bapak Suprapto Kadis telah terbiasa melakukan tirakat dan tekun mencari kebenaran. Berpuasa pada Hari Senin dan Kamis, puasa di pertengahan bulan hijriah, hingga puasa khusus selama 40 hari menjadi laku beliau dalam keseharian. Tirakat puasa dan membatasi tidur biasanya bertujuan melatih raga untuk tidak mengecap nikmat agar jiwa tumbuh dan mendekat kepada yang memiliki kehidupan. Tirakat seperti ini membentuk perilaku, hati, dan pikiran agar tidak terpikat dengan kenikmatan duniawi dan selalu eling kepadaNya.

Beribadahlah engkau seolah-olah engkau menyaksikan Allah SWT.” Ungkapan ini sering diajarkan kepada umat Muslim agar dapat beribadah dengan khusyu’. Bagi Bapak Suprapto Kadis, ungkapan ini bukanlah pengandaian. Jiwanya telah menyaksikan kehadiran Allah SWT sehingga “khusyu” bagi beliau bukan pengondisian mental belaka. Penyaksian tersebut terlihat dari cara beliau menegakkan adab sholat dengan sungguh-sungguh. Misalnya, beliau selalu mengenakan pakaian khusus ketika sedang menjalankan ibadah sholat. “Ketika di kantor kita menggunakan baju yang berbeda, ketika di lapangan kita menggunakan baju yang berbeda, maka ketika sholat pun, ketika menghadap Allah Taala, kita pun mesti menggunakan baju yang khusus pula,” demikian ucapnya kepada murid-muridnya.

‘Perjumpaan dengan Diri Sejati’ sebagai puncak dari penyucian diri dan olah jiwa biasa dilakukan oleh orang-orang suci. Tak terkecuali Bapak Suprapto Kadis. Laku tirakat dan riyadhoh dilakukannya sebagai latihan mati sakjroning urip. Dalam salah satu riyadhohnya, beliau menyaksikan sendiri bagaimana dadanya dibuka dan dibersihkan oleh Allah SWT. Laku tirakat yang beliau lakukan sedemikian beratnya, sehingga melebihi kemampuan orang biasa. Pada periode beliau menerima Nur al-fitriyah atau bertemu “Diri Sejati” di tahun 1968 itu, beliau tidak pernah tidur kecuali istirahat sebentar sebelum magrib selama tujuh bulan penuh. Namun demikian, beliau tidak pernah mengantuk. Setiap malam beliau diajari secara langsung oleh Allah SWT. Beliau menerima anugerah Nur Ilmu yang di dalam khazanah tasawuf disebut sebagai Ilmu Ladunni.

Saat itulah beliau menerima ajaran langsung dari Allah SWT yang ditulis dalam berbagai serat, hingga jumlahnya mencapai 17 serat. Dengan serat-serat tersebut, beliau mendampingi perjalanan jiwa para saliknya. Materi kajian Bapak Suprapto Kadis menyesuaikan dengan kondisi serta kebutuhan murid-muridnya yang banyak berasal dari kalangan profesional.  Materi kajian tersebut mungkin terlihat sederhana bagi kebanyak orang; tidak sarat dengan konsep dan istilah filosofis. Topik yang beliau ajarkan sangat membumi sehingga langsung mengobati masalah-masalah kejiwaan yang dihadapi para salik. Materi ini disarikan langsung dari Alquran dan Hadits. Selama paparan beliau, para salik harus selalu siap menjawab pertanyaan Bapak Mursyid tentang ayat Alquran atau Hadits yang sesuai dengan topik tertentu. Pilihan topik ini tergantung pada situasi jiwa para murid. Dengan demikian, pengajian yang diberikan oleh Bapak Mursyid benar-benar merupakan asupan bagi jiwa.

Ajaran tarekat Kadisiyah berfokus pada olah jiwa dan olah rasa agar seseorang mengenali diri sejatinya dalam menjalankan misi untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ajaran untuk mengenal diri sejati ini penting agar seseorang mengenal misi dirinya dan kemudian mengenal Allah SWT. Hal ini telah dinyatakan dalam Hadits Rasulullah SAW, “Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu’, “Barang siapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.” Sebagai seorang Mursyid, Alquran dan Hadits sudah melebur dalam dada Bapak Suprapto Kadis. Beliau adalah seorang wali di zaman ini. Ia adalah waliyyan mursyidan yang ditunjuk oleh Allah SWT untuk membimbing saliknya agar kembali bertaubat kepadaNya.